Reformasi Manajemen Keuangan Daerah, Suatu Pengantar

9 09 2008

Pengelolaan Anggaran Daerah yang transparan bagi publik merupakan harapan kita besama

Pengelolaan Anggaran Daerah yang transparan bagi publik merupakan harapan kita besama

I. Pendahuluan

Sejak era reformasi tahun 1998 paradigma pembangunan di Indonesia telah bergeser dari model pembangunan yang sentralistik menjadi desentralistik. Pembagian kewenangan menjadi bagian dari arah kebijakan untuk membangun daerah yang dikenal dengan istilah kebijakan “Otonomi Daerah”. Hal tersebut ditandai dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Pelimpahan kewenangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap cara-cara mempertanggungjawaban keuangan pusat, dan khususnya daerah.

Manajemen keuangan daerah menjadi begitu penting bagi aparat pemerintahan didaerah karena merupakan konsekwensi logis dari perspektif manajemen perimbangan antara keuangan pusat dan daerah. Transformasi nilai yang berkembang dalam era reformasi ini adalah meningkatnya penekanan proses akuntabilitas publik atau bentuk pertanggungjawaban horisontal, khususnya bagi aparat pemerintahanan di daerah, tanpa mengesampingkan pertanggungjawaban vertical kepada pemerintahan atasan dalam segala aspek pemerintahan, termasuk aspek penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah sesuai dengan Surat Keputusan Mendagri No. 29 Tahun 2002.

Keberhasilan perubahan ini, pada saatnya tergantung pada efektivitas, transparansi, dan manajemen yang efektif juga kemampuan sumber daya publik darimanapun asal mereka. Seberapa baik proses yang mendasari ini dikelola di tingkat distrik dan propinsi yang karenanya bertambah minat dari pemerintah pusat maupun komunitas donor.

Diantara pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan adalah : seberapa transparan pemerintah daerah dalam menggunakan kewenangan yang baru mereka peroleh itu dan seberapa terlindungi proses tersebut dari jangkauan dan kolusi para elit daerah? Bagaimanakah mereka akan meningkatkan pendapatan publik daerah – secara lebih adil dan dengan lebih terprediksi ataukah melalui pajak dan pungutan yang lebih agresif dan lebih membebani? Seberapa efektif dan efisienkah sumber daya publik dipergunakan dan dipertanggungjawabkan, dan dengan integritas dan pengawasan yang seperti apa dari para stakeholder/pihak yang berkepentingan? Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini dan sejumlah pertanyaan lainnya pastinya akan bervariasi antar pemerintah daerah, namun variasi inilah yang dibutuhkan oleh kita untuk mendiagnosa, menilai, dan memahami.

Roby Arya Brata dalam artikelnya mengutip apa yang dikemukakan Sondang F. Siagian (1995) menggambarkan bahwa dalam praktik manajemen keuangan daerah yang masih berlangsung sekarang ini, ada kecenderungan dari oknum pejabat untuk menghabiskan sisa anggaran, baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan (proyek), yang dikelolanya. Pejabat tersebut termotivasi oleh insentif untuk menghabiskan sisa anggaran karena kalau sisa anggaran tersebut tidak dihabiskan maka jumlah anggaran yang disetujui Departemen Keuangan untuk tahun berikutnya, baik yang diusulkan dalam Daftar Usulan Kegiatan (DUK) maupun Daftar Usulan Proyek (DUP), akan lebih kecil dari jumlah anggaran tahun sebelumnya. Akibatnya, oknum pejabat tersebut merekayasa kegiatan untuk menghabiskan sisa anggaran dan membuat laporan keuangan “yang seolah-olah benar” untuk menjustifikasi kegiatan tersebut.. Kelemahan lain dari manajemen keuangan daerah selama ini adalah adanya nonbujeter, yaitu dana di luar APBD yang berasal dari pendapatan bukan pajak. Adanya pengalokasian dana yang bersifat nonbujeter yang penggunaannya tidak transparan dan lemah mekanisme akuntabilitas publiknya jelas bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik (good governance).

Jadi, jelas sistem manajemen keuangan daerah yang dipraktikkan pemerintah selama ini kurang memenuhi prinsip good governance dalam manajemen keuangan daerah. Sistem manajemen keuangan demikian melemahkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi penggunaan anggaran, memancing praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) karena kurang transparan, dan mendorong pejabat untuk menggunakan keuangan dan sumber daya negara secara tidak bertanggung jawab karena lemahnya mekanisme akuntablitas publik dalam manajemen keuangan daerah.

II. Pembahasan

2.1 Pengertian Dasar

Manajemen keuangan daerah merupakan bagian dari Manajemen Pemerintahan Daerah selain Manajemen Kepegawaian dan manajemen teknis dari tiap-tiap instansi yang berhubungan dengan pelayanan publik, atau kita sebut dengan Manajemen Pelayanan Publik dan Manajemen Administrasi Pembangunan Daerah.

Pengertian Manajemen keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar (2002) adalah mencari sumber-sumber pembiayaan dana daerah melalui potensi dan kapabilitas yang terstruktur melalui tahapan perencanaan yang sistematis, penggunaan dana yang efisien dan efektif serta pelaporan tepat waktu.

Manajemen Pelayanan Publik yang dimaksud adalah pencerminan pemberian kewenangan wajib atas otonomi daerah dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari antara lain: Pemerintahan Umum, Pertanian; Perikanan dan Kelautan, Pertambangan dan Energi; Kehutanan dan Perkebunan; Perindustrian dan Perdagangan; Perkoperasian; Penanaman Modal; Ketenagakerjaan; Kesehatan; Pendidikan dan Kebudayaan; Sosial; Penataruangan; Pemukiman; Pekerjaan Umum; Perhubungan; Lingkungan Hidup; Kependudukan; Olahraga; Keparawisataan; dan Pertanahan. Hal ini, biasanya tercermin dengan adanya dinas-dinas daerah dan struktur organisasi Pemda yang berkaitan dengan luas dan ruang lingkup tugas tersebut.

Pengertian keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar (2002) adalah “ Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran dan pendapatan dan belanja daerah (APBD).”

Oleh karena itu, pengertian keuangan daerah selalu melekat dengan pengertian APBD yaitu; suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan. Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dari definisi keuangan daerah tersebut melekat 4 (empat) dimensi (Bahrullah Akbar, 2002):

1. Adanya dimensi hak dan kewajiban;

2. Adanya dimensi tujuan dan perencanaan;

3. Adanya dimensi penyelenggaraan dan pelayanan publik; dan

4. Adanya dimensi nilai uang dan barang (investasi dan inventarisasi).

Keterkaitan keuangan daerah yang melekat dengan APBD merupakan pernyataan bahwa adanya hubungan antara dana daerah dan dana pusat atau dikenal dengan istilah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dana tersebut terdiri dari dana dekonsentrasi (PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan) dan dana Desentralisasi. Dana dekonsentrasi berbentuk dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Sedangkan yang dimaksud dana desentralisasi adalah yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD).

Tujuan keuangan daerah menurut Nick Devas, et.al, (1989):

1. Akuntabilitas (Accountability)

Pemda harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara lain, adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok kepentingan lainnya (LSM);

2. Memenuhi kewajiban Keuangan

Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang;

3. Kejujuran

Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai profesional dan jujur, sehingga mengurangi kesempatan untuk berbuat curang.

4. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) kegiatan daerah

Tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap program direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dengan biaya serendahrendahnya dengan hasil yang maksimal.

5. Pengendalian

Manajer keuangan daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan dapat tercapai. Harus selalu memantau melalui akses informasi mengenai pertanggungjawaban keuangan.

2.2 Fungsi Manajemen Keuangan Daerah

Fungsi manajemen terbagi atas tiga tahapan utama, yaitu: adanya proses perencanaan, adanya tahapan pelaksanaan, dan adanya tahapan pengendalian/ pengawasan. Oleh karena itu fungsi manajemen keuangan daerah terdiri dari unsur-unsur pelaksanaan tugas yang dapat terdiri dari tugas (Bahrullah Akbar, 2002) :

1) Pengalokasian potensi sumber-sumber ekonomi daerah;

2) Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

3) Tolok ukur kinerja dan Standarisasi;

4) Pelaksanaan Anggaran yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Akuntansi;

5) Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Kepala Daerah; dan

6) Pengendalian dan Pengawasan Keuangan Daerah.

Angka 1 dan 2 merupakan bagian dari fungsi perencanaan dimana melekat pengertian adanya partisipasi publik; Angka 3 dan 4 merupakan fungsi pelaksanaan dan Angka 5 dan 6 merupakan fungsi pengendalian dan pengawasan. Keseluruhannya akan bermuara pada terciptanya sistem informasi keuangan daerah yang transparan dan akuntabel.

Dalam arti sempit manajemen keuangan daerah merupakan tugas kebendaharawanan, dari peran kas daerah atau bendahara umum daerah sampai dengan peran bendaharawan proyek, bendaharawan penerima, bendaharawan barang. Secara garis besarnya, ada dua hal tugas pokok atau bidang yang harus disadari bagi seorang manajer keuangan daerah, yaitu: pekerjaan penganggaran dan pekerjaan akuntansi, dimana dalam pelaksanaan keduanya berinteraksi dan saling melengkapi terutama dalam r a n g k a pengendalian dan pengawasan manajemen (BidangAuditing). Secara aplikatif dua tugas pokok tersebut terekam dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2000 tentang “Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD”.

2.3. Reformasi Manajemen Keuangan Daerah

Secara garis besar, manajemen (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran.

Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974, proses penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah menurut UU No. 22 tahun 1999 adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota, melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah (Perda).

Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke performance budget.

Traditional budget merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.

Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan.

Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain (Mardiasmo, 2002):

a. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.

b. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.

c. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.

d. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.

e. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.

f. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).

g. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.

h. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan ’manipulasi anggaran.’

i. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.

Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional.

Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan manajemen anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientsi pada kepentingan publik. Merupakan kebutuhan masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan bertanggung jawab dan otonomi daerah harus dipahami sebagai hak atau kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan mengatur urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah.

2.4. Perbedaan Anggaran Tradisional dengan Anggaran NPM

Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah (Mardiasmo, 2002) :

(a) Anggaran tradisional atau anggaran konvensional; dan

(b) Pendekatan baru yang sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.

Tabel 1

Perbandingan Anggaran Tradisional vs Anggaran Dengan Pendekatan NPM

ANGGARAN TRADISIONAL

NEW PUBLIC MANAGEMENT

Sentralistis

Desentralisasi & devolved management

Berorientasi pada input

Berorientasi pada input, output, dan outcome (value for money)

Tidak terkait dengan perencanaan jangka panjang

Utuh dan komprehensif dengan perencanaan jangka panjang

Line-item dan incrementalism

Berdasarkan sasaran dan target kinerja

Batasan departemen yang kaku (rigid department)

Lintas departemen

(cross department)

Menggunakan aturan klasik:

Vote accounting

Zero-Base Budgeting, Planning Programming Budgeting System

Prinsip anggaran bruto

Sistematik dan rasional

Bersifat tahunan

Bottom-up budgeting

Sumber : Mardiasmo (2002)

Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Hal tersebut menunjukkan terlalu dominannya peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Besarnya dominasi ini seringkali mematikan inisiatif dan prakarsa Pemerintah Daerah, sehingga memunculkan fenomena pemenuhan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat.

Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public Financial Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS).

Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karak-teristik umum sebagai berikut (Mardiasmo, 2002):

1. Komprehensif/komparatif

2. Terintegrasi dan lintas departemen

3. Proses pengambilan keputusan yang rasional

4. Berjangka panjang

5. Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas

6. Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)

7. Berorientasi input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedar input.

8. Adanya pengawasan kinerja.

Perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi (Mardiasmo, 2002):

· Akuntabilitas;

· Value for Money;

· Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity);

· Transparansi; dan

· Pengendalian.

Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik.

Value for Money

Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik.

Indikasi keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan memperhatikan konsep value for money.

Kejujuran dalam Manajemen Keuangan Publik (Probity)

Manajemen keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan.

Transparansi

Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi manajemen keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Pengendalian

Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan.

Prinsip-prinsip yang mendasari manajemen keuangan daerah tersebut harus senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak dasar terhadap pemerintah, yaitu (Mardiasmo, 2002):

1. Hak untuk mengetahui (right to know), yaitu:

Mengetahui kebijakan pemerintah.

Mengetahui keputusan yang diambil pemerintah.

Mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan dan keputusan tertentu.

2. Hak untuk diberi informasi (right to be informed) yang meliputi hak untuk diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi perdebatan publik.

3. Hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).

Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2002):

  1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendalian keuangan daerah.
  2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
  3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya.
  4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
  5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS-Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
  6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-tahunan.
  7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
  8. Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan, peran akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
  9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
  10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan informasi.

Secara lebih spesifik, paradigma anggaran daerah yang diperlukan di era otonomi daerah adalah sebagai berikut:

  1. Anggaran Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik.
  2. Anggaran Daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less).
  3. Anggaran Daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.
  4. Anggaran Daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.
  5. Anggaran Daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait.
  6. Anggaran Daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip value for money.

3. Kesimpulan

Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal.

Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut melaksanakan reformasi manajemen keuangan daerah, sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian daerah, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global.

Daftar pustaka

Armida S. Alisjahbana (1999) Identifikasi Permasalahan Pelaksanaan UU nomor 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, makalah pada Seminar Nasional “Identifikasi Problematika Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, 9 Agustus, Bandung.

Bahrullah Akbar (2002) Fungsi Manajemen Keuangan, Boklet Publikasi BPK, No.87 Bulan Oktober, Jakarta, BPK.

Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia dan Bank Dunia (2005) Indonesia Manajemen Keuangan Pemerintah Daerah Suatu Kerangka Kerja Pengukuran makalah pada Workshop A Measurenment Framework Public Financial Management, 28-29 Agustus, Bali

Mardiasmo (2002) Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah, makalah pada Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia, 7 Mei , Jakarta.

Roby Arya Brata (2002) Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah, Pikiran Rakyat, 14 Agustus


Actions

Information

13 responses

5 10 2008
buana

thank’s atas informasinya.

mohon ijin untuk mengcopy, saya gunakan untuk pembuatan tugas-tugas kampus.

salam

buana, denpasar

5 10 2008
buana

thank’s atas informasinya.

mohon ijin untuk mengcopy, saya gunakan untuk membuat tugas-yugas kampus

salam

buana, Denpasar

8 10 2008
gugyh

wassalam. silahkan semoga bermanfaat.

4 11 2008
Rika

Mohon ijinnya meng-copy ulasan diatas untuk tugas kuliah

Salam Rika – Jakarta

14 03 2009
wawan

mohon ke ikhlasannya tuk dapat mengkopy sebagai tambahan literatur pembuatan tesis
terimakasih

salam
dharma

6 04 2009
musafa

mas da gx panduan buat blog wordpres kalo da tolong kirim ke emil saya ya..

8 04 2009
dani

hebaaat deh jiwa nasionalismenya ada. btw ajarin cara blog kaya gitu dong? habis blog gwe biasa aja.

9 04 2009
Bahrullah Akbar

Saya Ikhlas dan terima Kasih

3 11 2009
vita

mohon ijin, utk tambahan bahan seminar KY…tq

3 02 2010
cantik

Sama kyk yg laennya 🙂

mohon ijin yach mas untuk mengcopy artikel ini

Tq,

2 03 2010
ningsi

Mohon ijin.
mau m’copy bwt tgs kuliah.
Trimakasih……@_@

1 11 2010
Artiningtyas

trimakasih atas tulisannya. mohon ijin saya jadikan referensi untuk tugas kuliah

4 04 2011
mania

g bisa d perici lgi y

Leave a reply to Artiningtyas Cancel reply